Talkshow Discomotif 3: Pemerintah Belum Miliki Solusi Konkrit Atas Dampak PPKM Terhadap Industri Otomotif

  • Oleh : ADV

Rabu, 21/Jul/2021 17:00 WIB
Ilustr Ilustr

SoundandMachine.com (Jakarta) - Sebagai upaya untuk menghentikan angka penularan Covid-19 yang semakin meningkat, pemerintah telah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM Darurat) pada 3 – 20 Juli 2021 di beberapa area di Indonesia. 

Meski seharusnya telah usai, namun pemerintah akhirnya memperpanjang kembali kebijakan tersebut sampai dengan 25 Juli 2021. Setelah itu, pemerintah akan melakukan pembukaan secara bertahap mulai pada 26 Juli 2021 dengan syarat terjadi tren penurunan kasus virus Corona atau Covid-19. 

Baca Juga:
Pelaku Bisnis Otomotif Berharap, Usai PPKM Kondisi Penjualan Kembali Normal

"Jika tren kasus mengalami penurunan maka tanggal 26 Juli pemerintah akan melakuan pembukaan secara bertahap," kata Presiden Joko Widodo melalui konferensi pers virtual, Selasa (20/7/2021) malam, dari Istana Negara Jakarta. 

Sama seperti sebelumnya, kebijakan PPKM tentunya membuat aktivitas maupun mobilitas masyarakat menjadi sangat terbatas. Sayangnya, kebijakan tersebut ternyata menyebabkan beberapa sektor bisnis terkena dampaknya termasuk otomotif, karena banyak toko dan diler menutup operasionalnya. 

Baca Juga:
PPKM Mengancam Bisnis Tenant Otomotif di Mega Glodok Kemayoran

Dalam talkshow Diskusi Car Audio, Modifikasi & Otomotif (Discomotif) dengan tema #Discomotif PPKM ke-2, yang diselenggarakan oleh SoundandMachine pada Rabu, 21 Juli 2021 secara virtual, turut membahas mengenai imbas kebijakan PPKM terhadap sektor bisnis otomotif.

Acara yang diadakan untuk ketiga kalinya tersebut, menghadirkan Bebin Djuana sebagai pengamat industri otomotif dan Ahmad Garuda sebagai jurnalis otomotif senior sebagai narasumber, dan ditayangkan di Facebook Live di akun @soundandmachine.

Bebin membuka pembicaraan dengan mengatakan, saat ini banyak toko dipaksa tutup, padahal sudah prokes ketat. Ia menilai, pemerintah belum bisa memberi solusi konkrit terhadap dampak dari PPKM. 

"Bengkel kendaraan di Jakarta tutup dan harus by appointment," katanya. Meski beberapa pemegang merek kendaraan akhirnya melalukan strategi penjualan secara online, namun ia melihat bahwa hal tersebut kurang efektif.

Sebab, Bebin mengungkap bahwa membeli motor dan mobil tidak seperti membeli T-Shirt. "Sebagai konsumen mau beli motor misalnya, masa hanya melihat video launching, lalu nonton di YouTube yang mereview produknya, kemudian dengan serta merta order," tuturnya.

Jadi, strategi showroom yang manfaatkan kanal online, dinilai bukan solusi yang tepat. Apalagi karakter konsumen di Indonesia yang lebih suka membeli mobil dengan merasakan langsung duduk didalamnya. 

Padahal menurut Bebin, jika konsumen sudah datang ke showroom, dari sisi industrinya sudah terlihat 75% akan deal. "Sayang kan kalau kesempatan itu terbang begitu saja. Menghadirkan konsumen ke showroom itu suatu usaha tidak main-main. Namun sekarang kalau mau ke showroom yang harusnya mudah jadi muter-muter, disekat," katanya.

Penurunan penjualan akibat PPKM tentunya akan sangat mengkhawatirkan. Apalagi, selama ini industri otomotif menjadi salah satu penyumbang pajak terbesar negara. "Dari sisi ketenagakerjaan, satu merk saja, industri induknya aja, berapa tenaga kerja yang diserap," jelasnya. 

Bebin menambahkan, "Memang kita disuruh stay at home, tetapi ada bagian dimana tetap harus bekerja untuk mendistribusikan dan tidak bisa dihentikan, padahal ini menjadi potensi yang luar biasa. Jangan terlalu disederhanakan atau disamaratakan kebijakannya," ujarnya.

Senada dengan Bebin, Ahmad Garuda juga mengatakan, bahwa konsumen di Tanah Air sudah terbiasa dengan kondisi melihat langsung calon mobil atau motor yang akan dibelinya ke showroom. 

Ngobrol langsung menjadi sebuah kepuasan dibanding virtual seperti ini. "Memang ada ruang yang bisa dimaksimalkan (dengan virtual) namun secara feeling dan ada kedekatan emosional akan berbeda," jelasnya.

Ia mengatakan, kebijakan PPKM kondisinya tidak mudah karena yang diatur adalah hanya sebagian saja seperti di otomotif, sehingga pembelian kendaraan masih diatur bukan sektor esensial. 

"Esensial karena faktor dibutuhkan masyarakat, funsinya tak tergantikan, belanja ini itu harus ke pasar. Mungkin sektor otomotif, bagi pemerintah tidak kritikal tapi bagi yang kerja kritikal," imbuhnya 

Menurutnya, khusus sektor otomotif sepertinya harus ada aturan lagi. "Sebab, orang ke showroom itu gak bakal banyak juga, paling 2-3 orang yang memang ambil keputusan untuk berbelanja," pungkas Garuda.

Di akhir acara, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua sektor usaha sangat esensial bagi orang yang bekerja, temasuk bidang otomotif. Kebijakan PPKM sebaiknya tidak bisa disamaratakan, termasuk dalam hal sektor esensial dan non esensial.

Apalagi, metode online masih belum sepenuhnya efektif dalam bisnis otomotif ketika bertransaksi, karena konsumen harus merasakan kendaraan yang akan ia beli dengan datang langsung ke showroom.

"Bagi masyarakat dan juga pelaku usaha, kunci sebenarnya hanya pada disiplin prokes untuk saling menjaga, karena dengan disiplin prokes akan meminimalisir resiko terpapar Covid-19," pungkas Bebin. (EPS)